MAKALAH DEMOKRASI PARLEMENTER
DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di
mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal
ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen
pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi
tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen
dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang
terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap
jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi
simbol kepala negara saja.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif
pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang
legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan.
Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang
eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa
kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik
kepresidenan.
Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem
presidensiil, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik.
Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil,
seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem
parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan
kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala
negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun
beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presidenterpilih dengan banyak
kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.
Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah
Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapuradan sebagainya.
B. Pembahasan
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi
parlementer. Sistem parlementer mulai berlaku sebulan setelah proklamasi
kemerdekaan, yang kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan UUD Sementera tahun
1950.
Dengan demikian budaya demokrasi yang dipraktekkan dalam
ketatanegaraan Indonesia adalah sistem demokrasi parlementer, dalam budaya
demokrasi ini, presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). BP KNIP kemudian diperkuat oleh
maklumat Wakil Presiden No. X, sehingga menjadi sebuah badan yang berwenang
sebagaimana lembaga negara.
Awalnya, sistem kabinet ketika itu menggunakan sistem
kabinet presidensial. Itu berarti para menteri diangkat oleh presiden,
bertanggung jawab kepada presiden, dan diberhentikan oleh presiden. Tidak lama
kemudian, sistem kabinet berubah menjadi sistem kabinet parlemen, yang berarti
para menteri bertanggung jawab kepada DPR (Parlemen). Perubahan itu diusulkan
oleh BP KNIP, yang kemudian diterima oleh Presiden. Presiden lalu mengeluarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang antara lain menegaskan bahwa
“tanggung jawab adalah dalam tangan menteri”.
Pada periode ini berlaku 3 UUD yakni :
1.
UUD 1945, berlaku
sejak tanggal 18 Agustus 1946 s/d Desember 1949.
2.
UUD Republik Indonesia
Serikat (RIS) 1949, berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 s/d 15 Agustus
1950.
3.
UUD Sementara tahun
1950 (UUDS 1950), berlaku sejak tanggal 15 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959.
Pada masa ini, budaya demokrasi kurang berjalan dengan
baik. Hal itu bisa ditunjukkan oleh kenyataan-kenyataan berupa lemahnya
benih-benih demokrasi parlementer itu sendiri, yang memberi peluang bagi
dominasi partai-partai politik dan DPR; usia kabinet masa itu tidak bertahan
lama sehingga koalisi yang dibangun mudah rapuh dan pecah, yang mengakibatkan
ketidakstabilan politik nasional , para anggota partai tergabung dalam
konstituante (dibentuk berdasarkan Pemilu tahun 1955), yang bertugas membentuk
konstituante (UUD) dan dasar negara.
Pada masa parlemen ini telah terjadi 2 kali pemilu sejak
satu dasa warsa Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1955.
1.
Pemilu I, tanggal 29
Desember 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR).
2.
Pemilu II, tanggal 15
Desember 1955 untuk memilih anggota Badan Konstituante.
Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan UU No. 7 tahun 1953
diikuti 28 parpol yaitu : Masyumi, PNI, NU, dan PKI (4 parpol ini termasuk
parpol besar), Perti, Parkindo, Partai Katolik, PSI, PSII, Murba, dan IPKI dan
yang lain partai gurem (partai kecil).
Hasil Pemilu tahun 1955 DPR hasil pemilu tahun 1955
berjumlah 272 orang (setiap anggota didukung oleh 300.00 suara). Ada 4 parpol
yang mendapat suara mayoritas yaitu:
- Masyumi (60 wakil)
- PNI (58 wakil)
- NU (47 wakil)
- PKI (32 wakil)
Dan kursi yang lain tersebar di partai-partai lain.
Sekalipun sudah ada wakil rakyat hasil pemilu, tetap saja
Indonesia kurang menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan. Hal ini disebabkan
karena pada anggota konstituante lebih mengutamakan kepentingan golongannya
daripada kepentingan nasionalnya. Karena dalam keadaan bahaya maka dikeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer diwarnai dengan 7
masa kebinet yang berbeda dan gagalnya konstituate membentuk UU baru. Kinerja
kabinet sering ditentang Parlemen.
1.
Kabinet Natsir (6
September 1950 - 18 April 1951).
2.
Hasil kerja: Indonesia
jadi anggota PBB, politik Luar Negeri RI “bebas aktif”, perundingan masalah
Irian Barat.
3.
Kabinet Sukiman (26
April 1951 – 26 April 1952). Masalah keamanan dalam negeri menghambat kinerja
kabinet. Indonesia menandatangani Mutual Security Act AS.
4.
Kabinet Wilopo (19
Maret 1952 – 2 Juni 1953). Adanya konflik AD “peristiwa 17 Oktober 1952”, dan
peristiwa Tanjung Morawa menghambat kinerja kabinet.
5.
Kabinet Ali I (31 Juli
1953 – 24 Juli 1955). Hasil kerja: suksesnya KAA, masih berlanjutnya konflik AD
dengan mundurnya A.H. Nasution.
6.
Kabinet Burhanudin
Harahap (Agustus 1955 - 3 Maret 1956). Hasil kerja: pemilu 1955, dibubarkan Uni
Indonesia-Belanda, mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD 28 Oktober
1955.
7.
Kabinet Ali II (24
Maret 1956 – 14 Maret 1957) Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).
Hasil kerja: pembentukan dewan nasional untuk menampung aspirasi rakyat,
konsolidasi daerah-daerah pemberontak, pembersihan korupsi, aturan kelautan
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
20 November 1956 sidang I, Presiden Sukarno memberi
kewenangan untuk menyusun UUD. Konstituate menghadapi tantangan untuk bersatu
merumuskan UUD baru. Terutama konflik NU-PKI-PNI menyangkut pemberlakuan
kembali UUD’45 dan pemasukan kembali butir Piagam Jakarta “dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam preambule UUD’45. Maka,
diadakan sidang untuk menjawab masalah itu. Sidang 29 Mei 1959, 30 Mei 1959, 2
Juni 1959 berturut-turut tidak mencapai kuorum. Maka, 3 Juni 1959 Konstituate
reses.
Pada masa cabinet Sukiman, ada nasionalisasi ekonomi:
nasionalisasi de Javasche Bank menjadi BI sebagai bank sentral (UU No. 11 /
1953), pembentukan BNI Perpu No. 2 / 1946 (5 Juli 1946), pemberlakuan ORI 1
Oktober 1946 (UU No. 17 / 1946).
Perubahan ekonomi juga terlihat pada masa kabinet Ali II
dengan penandatanganan UU pembatalan KMB oleh Presiden Sukarno 3 Mei 1956
berakibat berpindahnya asset-aset milik pengusaha Belanda ke pengusaha pribumi.
Puncak kebuntuan Konstituate adalah Dekrit Presiden 5 Juli
1959: Pembubaran konstituate, berlakunya kembali UUD’45, pembentukan MPRS dan
DPAS. Ini menandai pergantian Demokrasi Parlementer ke Demokrasi
Presidensial.Tindak lanjut Dekrit Presiden, 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet
Kerja. Memakai sistem kabinet Presidensial, Ir Sukarno sebagai PM.
Dalam Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari
aliran NASAKOM. Presiden Sukarno juga membentuk DPA, Front Nasional (Penpres
No. 13 tahun 1959), DEPERNAS. Dalam sidang DPA September 1959, DPA mengusulkan
agar pidato pertanggungjawaban Presiden 17 Agustus 1959 sebelumnya atas Dekrit
Presiden dijadikan GBHN dengan nama MANIPOL. Usul DPA diterima Presiden. 24
Juni 1960, DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan diganti DPR-GR. Pada upacara
pelantikan anggota DPR-GR 25 Juni 1960, Ir Sukarno menegaskan tugas DPR-GR
adalah melaksanakan MANIPOL, melaksanakan Demokrasi Terpimpin, merealisasi
AMPERA. Penpres No.2 tahun 1959 menetapkan bahwa anggota MPRS ditunjuk
Presiden. Kalangan partai yang tidak setuju atas pembubaran DPR bergabung dalam
Liga Demokrasi.
C. Kesimpulan
1. Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:
a.
Dikepalai oleh seorang
perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai
oleh presiden/raja.
b.
Kekuasaan eksekutif
presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan
undang-undang.
c.
Perdana menteri
memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
d.
Menteri-menteri hanya
bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
e.
Kekuasaan eksekutif
bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f.
Kekuasaan eksekutif
dapat dijatuhkan oleh legislatif.
2. Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
a.
Pembuat kebijakan
dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara
eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif
berada pada satu partai atau koalisi partai.
b.
Garis tanggung jawab
dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.
Adanya pengawasan yang
kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam
menjalankan pemerintahan.
3. Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
a.
Kedudukan badan
eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga
sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
b.
Kelangsungan kedudukan
badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa
jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
c.
Kabinet dapat mengendalikan
parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen
dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen
dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
d.
Parlemen menjadi
tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi
anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri
atau jabatan eksekutif lainnya.
4. Contoh pengaruh demokrasi Parlementer pada kehidupan
Indonesia:
a.
Kehidupan ekonomi,
pada masa cabinet Sukiman, ada nasionalisasi ekonomi: nasionalisasi de Javasche
Bank menjadi BI sebagai bank sentral
b.
Kehidupan politik,
Puncak kebuntuan Konstituate adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
D. Daftar
Pustaka
- id.wikipedia.org/wik didownload 23 Nopember 2012
- oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1499 didownload tanggal 27
Nopember 2012
- Buku Sejarah Kelas XII SMA